Menyaksikan Pilkada yang Tragis: Bagaimana Dunia Pendidikan Bisa Memutus Rantai Kekerasan
![](https://statik.unesa.ac.id/pgsd/thumbnail/aa366bbb-1ab5-4276-a520-11120acaad51.jpg)
Oleh: Dr. Fiena Saadatul Ummah, M.Pd.
Pilkada, sebagai wujud nyata dari pesta demokrasi, seharusnya menjadi momen masyarakat merayakan hak mereka untuk memilih pemimpin. Namun, ironisnya, di beberapa tempat, pilkada justru berubah menjadi ajang konflik yang berujung pada kekerasan, bahkan sampai merenggut nyawa. Tragedi ini mengungkap sisi gelap dari demokrasi yang belum matang, di mana emosi mengalahkan rasionalitas, dan fanatisme buta mengaburkan makna sejati dari perbedaan pendapat.
Sebagai mahasiswa, melihat peristiwa ini seharusnya menyalakan panggilan moral untuk berpikir kritis dan bertindak solutif. Dunia Pendidikan, khususnya perguruan tinggi, memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga dewasa secara emosional dan sosial. Pertanyaannya adalah: bagaimana pendidikan bisa menjadi kunci untuk memutus rantai kekerasan ini?
Pertama-tama, pendidikan harus menanamkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai demokrasi. Demokrasi bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi juga menghormati perbedaan, berdialog dengan santun, dan mencari solusi tanpa kekerasan. Di ruang kelas, diskusi-diskusi terbuka tentang isu-isu sosial dan politik harus menjadi bagian dari kurikulum. Mahasiswa perlu dilatih untuk berpikir kritis, menilai fakta secara objektif, dan memahami bahwa perbedaan pandangan adalah kekayaan, bukan ancaman.
Selain itu, dunia pendidikan harus fokus pada pembangunan karakter. Kekerasan dalam pilkada sering kali lahir dari ketidakmampuan individu untuk mengendalikan emosi atau memahami perspektif orang lain. Pendidikan karakter yang menenekankan empati, toleransi, dan kedewasaan emosional dapat menjadi penangkal bagi sikap-sikap destruktif yang memicu konflik. Mahasiswa yang memiliki karakter kuat akan mampu menjadi agen perdamaian di masyarakat, bukan justru terlibat dalam konflik.
Tidak kalah penting, Pendidikan juga harus mengajarkan keterampilan komunikasi yang efektif. Banyak konflik terjadi karena kesalahpahaman atau ketidakmampuan menyampaikan argumen dengan cara yang damai. Melalui pelatihan debat, simulasi mediasi, atau program kepemimpinan, mahasiswa dapat belajar bagaimana menyampaikan pandangan mereka tanpa menyerang atau merendahkan orang lain.
Namun, pendidikan tidak hanya terjadi di ruang kelas. Pengalaman langsung juga memainkan peran penting dalam membentuk mahasiswa menjadi individu yang bertanggung jawab. Keterlibatan dalam kegiatan masyarakat, seperti program pengabdian atau diskusi publik, dapat membuka mata mahasiswa terhadap realitas di lapangan dan melatih mereka untuk menghadapi konflik secara konstruktif. Dengan memahami kompleksitas masyarakat, mahasiswa dapat menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.
Sebagai generasi muda yang terdidik, mahasiswa memiliki potensi besar untuk membawa perubahan. Tragedy pilkada yang diwarnai kekerasan seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa demokrasi tidak akan berkembang tanpa komitmen pada nilai-nilai damai dan dialog. Melalui pendidikan yang holistik dan konstekstual, kita bisa mencetak generasi pemimpin masa depan yang mampu mengelola perbedaan dengan bijaksana dan memimpin dengan hati.
Pilkada yang tragis bukanlah akhir dari harapan. Sebaliknya, ini adalah pengingat bahwa ada pekerjaan besar yang menanti kita, terutama di dunia pendidikan. Sebagai mahasiswa, mari kita ambil peran dalam membangun masyarakat yang lebih baik, di mana demokrasi bukan lagi arena konflik, tetapi panggung bagi kolaborasi dan kemajuan Bersama. Dengan ilmu dan kesadaran, kitab isa memutus rantai kekerasan, menciptakan masa depan yang lebih damai dan bermakna.